Sunday, September 7, 2014

Kita, Sama. Kita, Indonesia

Majel, Hari Kedua, 02 September 2014

Hari menjelang siang. Seharusnya aku dapat menyelesaikan film yang sedang kutonton. Tapi, pak guru memintaku untuk masuk ke kelas VII yang seharusnya belajar agama Katolik. Sekitar 12 siswa berada di ruang kelas itu. Pertama kali masuk ke kelas itu, kuperkenalkan diriku.

Salah seorang siswa bertanya,”Ibu seorang muslim?”.

“Ya, apa yang ibu pakai saat ini memperlihatkan keyakinan ibu.” Jawabku, atas pertanyaan salah satu siswa itu.

“Apa Ibu terlihat asing?” Aku kembali bertanya pada seisi kelas.

“Tidak, Bu.” Mereka menjawab hampir serentak.

“Agama kita memang berbeda. Apa yang kita yakini pun jelas berbeda. Tak hanya itu, Ibu yang dari pulau Sumatera, datang dihadapan kalian saat ini, memiliki suku dan ras yang berbeda pula dengan kalian. Tapi, kita tetap satu. Ada yang bisa menyebutkan tulisan pada kaki lambang burung Garuda?”

“Saya , Bu. Bhineka Tunggal Ika.” Seorang siswa menjawab pertanyaanku.

“Apa artinya?”

Hampir serentak siswa menjawab, “Walau berbeda-beda, tetap satu jua.”

“Ya, Ibu dan kalian berbeda. Agama, suku, ras, warna kulit, dan sebagainya. Tetapi kita tetap satu. Kita adalah Indonesia. Kita memiliki cita-cita untuk Indonesia.”

Tampak semua wajah siswa setuju atas apa yang kita bicarakan. Kutangkap dari raut wajah mereka, bahwa mereka adalah bagian Indonesia yang juga berhak menerima ilmu dari siapapun, walau asal, agama, suku, dsb, berbeda. Karena mereka juga menjadi tujuan Indonesia, generasi emas Indonesia selanjutnya.
Perkenalan dilanjutkan. Secara bergantian siswa memperkenalkan diri mereka. Aku meminta mereka juga menyebutkan hobi dan cita-cita mereka. Seorang siswi memiliki hobi bernyanyi, dan kupinta ia untuk bernyanyi di depan kelas.

“Lagu rohani boleh Bu?”

“Oh, tentu saja.”

Saat gadis kecil itu mulai bernyanyi, secara spontan beberapa siswa ikut bernyanyi. Mereka begitu menghayati lagu keagamaman mereka yang isinya berupa permohonan maaf dan hidup bahagia kepada Tuhannya.

Gambar. Siswi ini kembali saya pinta untuk bernyanyi di pertemuan lain

Ini Indonesia, kawan. Saat kau menjadi minoritas, kau akan tahu betapa banyak kehidupan luas di seberang sana. Kehidupan yang mengajarkanmu arti menghargai, bersabar, dan rindu. Saat ini aku benar-benar rindu mendengar seruanNya. Hingga ketika menjelang sholat, kudengarkan suara adzan dari HP atau laptopku. 

No comments:

Post a Comment