Sore ini adikku akan masuk ke
ruang operasi untuk dilakukan pemotongan appendiknya. Aku dan ibuku menunggu di
kamar. Setelah setengah jam berlalu, kami pun memutuskan menunggu di depan
ruang operasi yang kebetulan di depan ruang rawat adikku.
Lumayan lama adikku di ruangan itu. Mungkin karena ada tiga orang yang akan dioperasi dan mungkin juga karena mereka lebih membutuhkan tindakan secepatnya dibandingkan adikku. Ku simpulkan karena salah satunya adalah ibu hamil yang akan melahirkan.
“Keluarga Nn. Fadhlina?”
Lumayan lama adikku di ruangan itu. Mungkin karena ada tiga orang yang akan dioperasi dan mungkin juga karena mereka lebih membutuhkan tindakan secepatnya dibandingkan adikku. Ku simpulkan karena salah satunya adalah ibu hamil yang akan melahirkan.
“Keluarga Nn. Fadhlina?”
Aku dan mama serentak berdiri sampai akhirnya perawat mengatakan bahwa hanya satu orang yang boleh masuk.
Seorang ibu berusia 30an duduk di
sampingku. Ku lihat ada raut kekhawatiran dari matanya.
“Siapanya adik yang dioperasi? Operasi apa?”
“Adik
saya bu. Operasi usus buntu. Kalau ibu? Tanyaku balik,
“Ibu
sedang menunggu saudara ibu yang kerja di ruang bedah juga.”
Belum selesai pembicaraan kami sampai disitu.
“Keluarga Ny. N?”
Seorang lelaki yang menurutku itu
suami Ny. N (pasien yang baru melahirkan bayi perempuan melalui caesar)
langsung masuk ke ruang pemulihan. Beberapa menit berlalu, lelaki itu keluar
sambil membawa kantong plastik berukuran kecil.
“Kata
dokter, ari-ari ini disuruh dikubur.”
Lelaki itu langsung menjelaskan kepada
keluarganya. Jarak kami (aku dan ibu yang baru ku kenal tadi) hanya 1 meter.
Sehingga kami juga mendengar percakapan mereka. Anak yang baru saja dilahirkan
adalah anak pertama Ny. N dan suaminya.
“Kalau
di rumah sakit X, ada tempat khusus ngubur ari-ari, tapi kita bayar tanahnya.
Kayaknya di sini gak ada tempatnya,” salah seorang perempuan kerabat lelaki
tadi menjelaskan.
“Di
buang ke tempat sampah saja. Beres.” Seorang lelaki yang menurutku juga
keluarganya langsung menyahut.
Ibu
yang duduk di sampingku dan aku serentak beristigfar. Karena suami Ny. N tadi
tampak bingung, ibu di sampingku berdiri dan memberi saran.
“Maaf
Pak, bukan saya mau ikut campur. Kalau ari-ari dibuang begitu saja di tempat
sampat, takutnya digondol anjing. Kan
kasian. Sebaiknya di tanam saja dekat rumah bapak trus ditutup dengan ember
biar nggak dikorek-korek anjing, kalo nggak di buang ke sungai yang
mengalir. Ke batang hari misalnya.”
Suami
Ny. N langsung mengiyakan dan berterima kasih kepada ibu tadi dan mengatakan
bahwa dikubur adalah solusinya.
Ternyata
lama juga menunggu adikku keluar dari ruang pemulihan. Ibu tadi melanjutkan
percakapan kami yang sempat terputus.
“Lama
juga ya adikknya di dalam.”
“Iya
bu. Ibu siapanya yang sakit di sini? Tanyaku penasaran.
“Kakak
laki-laki ibu dik. Di ICU.”
ICU.
Ya Allah, tempat itu. Pikiranku melayang sebentar mengingat kejadian 2 tahun
lalu.
“Sakit
apa bu?”
“Hanya
karena tertusuk paku berkarat dik. Tetanus. Sekarang kakak ibu koma di sana.
Sudah berkali-kali disuntik tetanus. Mungkin karena seminggu dibiarkan dan nggak langsung disuntik tetanus.”
“Semoga
kakak ibu cepat sembuh. Maaf bu sebelumnya, kok
bisa sampai koma?”
Ibu
itu langsung menjelaskan panjang lebar. Kakak laki-lakinya dua minggu yang lalu
tertusuk paku berkarat. Langsung dibawa
ke bidan, dikorek, dicuci dan dibersihkan. Kakaknya pun menghabiskan obat yang
diberikan bidan. Seminggu kemudian, kakaknya sudah bisa bekerja seperti
sebelumnya dan tidak ada tanda-tanda sakit bekas luka pakunya. Tetapi, setelah
magrib kakaknya kejang-kejang dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Jika kamar
ICUnya gelap, tak ada reaksi dari tubuh kakaknya. Tapi jika lampu kamar
dihidupkan, tubuh kakaknya kembali kejang-kejang. Itulah sebabnya kakaknya di
ruang ICU yang sendiri, bukan di ruang ICU untuk banyak pasien sehingga
biayanya berkali-kali lipat dibandingkan dengan kamar ICU untuk banyak pasien.
“Ibu
minta tolong sama saudara ibu, minta rujukan biar pindah ke RSU aja.”
“Iya
bu, kalau itu lebih baik. Semoga kakak ibu cepat sadar dari komanya dan cepat
sembuh.”
“Aamiin.”
Semoga tulisan ini bermanfaat ^^
No comments:
Post a Comment